Aceh Utara — Dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana desa di Aceh Utara memasuki babak baru, Geuchik Gampong Blang Majron dan Camat Syamtalira Bayu resmi dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Aceh Utara pada 31 juli 2025, oleh lembaga Tuha Peut Gampong terkait dugaan pelanggaran hukum dan pelanggaran kesepakatan dalam proses pencairan Dana Desa.
Laporan tersebut disampaikan secara resmi oleh Tuha Peut Gampong Blang Majron melalui surat bernomor: 001/LP/TP/20.33/VII/2025, yang ditandatangani oleh Ketua Tuha Peut, Imam Sayuti, S.Tr.Kom, dan Sekretaris, Mahyuddin, serta dilampiri satu berkas dokumen berisi kronologis peristiwa dan bukti awal dugaan penyimpangan. Laporan disampaikan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Aceh Utara di Lhoksukon.
Kesepakatan Dilanggar, Dana Dicairkan Sebelum Perbaikan Dokumen, dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa pada 5 Juni 2025 telah dilangsungkan forum mediasi antara pihak Geuchik dan Tuha Peut yang difasilitasi oleh Camat Syamtalira Bayu dan dihadiri oleh unsur Muspika, Pendamping Desa, Imum Mukim, serta tokoh masyarakat.
Forum ini dilaksanakan untuk merespons polemik penyusunan dokumen RKPG, APBG, dan Perkades BLT Tahun Anggaran 2025 yang sebelumnya dilakukan secara sepihak oleh Geuchik tanpa melibatkan Tuha Peut maupun masyarakat.
Hasil mediasi menghasilkan kesepakatan penting: bahwa dokumen-dokumen yang telah disusun secara sepihak tersebut hanya digunakan sebagai syarat administratif untuk pengajuan pencairan Dana Desa dari pemerintah pusat ke rekening kas desa, dan tidak boleh ditarik ataupun digunakan sebelum dilakukan perbaikan melalui musyawarah resmi bersama Tuha Peut dan disahkan sesuai ketentuan yang berlaku.
Namun pada tanggal 28 Juli 2025, Camat Syamtalira Bayu justru melakukan pencairan Dana Desa Tahap I tanpa menunggu pengesahan dokumen perubahan. Tindakan ini diduga kuat melanggar kesepakatan tertulis yang telah disetujui bersama, serta mencederai prinsip tata kelola pemerintahan desa yang transparan dan partisipatif.
“Kami sangat menyayangkan tindakan Camat yang bertentangan dengan hasil forum resmi. Ini menimbulkan kecurigaan adanya kolaborasi tidak sehat dalam proses pencairan Dana Desa yang belum memiliki dasar legal formal,” ujar Imam Sayuti.
Indikasi Pelanggaran Regulasi dan Tata Kelola
Laporan juga memuat uraian indikasi pelanggaran terhadap berbagai ketentuan hukum dan regulasi, di antaranya:
Penyusunan RKPG, APBG, dan Perkades BLT Tahun 2025 tanpa melibatkan Tuha Peut maupun partisipasi masyarakat sebagaimana diwajibkan dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, Permendes PDTT Nomor 21 Tahun 2020, dan Permendes PDTT Nomor 2 Tahun 2024.
Dalam dokumen APBG yang disusun sepihak tersebut, tercantum alokasi untuk “Operasional Geuchik” sebesar 3% dari pagu Dana Desa, padahal tidak ada ketentuan hukum yang membenarkan nomenklatur tersebut.
Sementara itu, alokasi untuk operasional Tuha Peut justru tidak tercantum, sebagaimana terlihat pada rincian dokumen Rencana Penarikan Dana (RPD), padahal telah ditegaskan dalam Qanun Kabupaten Aceh Utara Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Gampong.
Rincian Penggunaan Dana yang Dipertanyakan
Berdasarkan dokumen Rencana Penarikan Dana (RPD) tertanggal 11 Juli 2025 yang diperoleh Tuha Peut, sejumlah dana diketahui telah dicairkan dari rekening kas desa untuk berbagai kegiatan dan pos anggaran. Namun, pencairan tersebut dilakukan tanpa musyawarah, pembahasan, atau persetujuan resmi dari Tuha Peut, sehingga menimbulkan pertanyaan serius mengenai legalitas proses perencanaan dan pelaksanaan anggarannya.
Adapun rincian kegiatan dan anggaran yang telah dicairkan tersebut antara lain:
Operasional Geuchik: Rp26.925.450 (tidak dikenal dalam nomenklatur resmi dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas)
Insentif Tim Pemutakhiran Data (IDM): Rp2.000.000
Insentif Operator SIKS-NG: Rp3.000.000
Penyelenggaraan Musrenbang Desa: Rp8.000.000 (padahal kegiatan Musrenbang tidak pernah dilaksanakan sama sekali)
Penyusunan RKPDes: Rp6.000.000
Penyusunan Dokumen APBG, APBGP, dan LPJ Dll: Rp10.000.000
Insentif Guru Balai Pengajian: Rp7.500.000
Santunan Anak Yatim/Piatu: Rp5.000.000
Penyelenggaraan Posyandu: Rp50.000.000
Pelatihan Kader Posyandu: Rp10.000.000
Pembangunan Tower Mikrofon: Rp45.800.000
Pengadaan Spanduk APBG: Rp600.000
Perawatan Lampu Jalan: Rp5.000.000
Beasiswa Santri: Rp24.000.000
Penyelenggaraan MTQ: Rp2.000.000
Honorarium Bilal Meunasah: Rp3.600.000
Pelatihan Kapasitas Geuchik: Rp20.000.000
Bantuan Langsung Tunai (BLT): Rp73.500.000
Penyertaan Modal untuk BUMG: Rp87.000.000
Tuha Peut mempertanyakan secara tegas ke mana aliran dana-dana tersebut disalurkan, siapa saja penerima manfaatnya, dan bagaimana dasar perencanaannya, mengingat tidak pernah ada rapat resmi yang melibatkan Tuha Peut maupun masyarakat untuk membahas atau menyetujui penggunaan anggaran tersebut.
Khusus untuk pos penyertaan modal BUMG, Tuha Peut menegaskan bahwa hingga berita ini dibuat, tidak ada informasi, dokumen, ataupun transparansi terkait unit usaha yang dijalankan, struktur kepengurusan, status badan hukum, maupun Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) BUMG. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa pencairan dana BUMG dilakukan tanpa dasar hukum dan tanpa akuntabilitas yang memadai.
“Rakyat berhak tahu ke mana uang desa itu digunakan. Ini uang publik. Semua anggaran harusnya disusun dan dibahas bersama secara terbuka, bukan diputuskan sepihak,” tegas Imam Sayuti, Ketua Tuha Peut
Rangkaian Dugaan Penyimpangan oleh Geuchik
Tuha Peut juga memuat dalam laporannya sejumlah indikasi pelanggaran lain oleh Geuchik yang telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, antara lain:
Dugaan pemalsuan tanda tangan penerima BLT, sebagaimana telah dilaporkan dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/147/VI/2025/SPKT/Polres Lhokseumawe/Polda Aceh.
Dugaan pengaturan penerima BLT yang tidak sah, termasuk mencantumkan nama istri Geuchik dan Kepala Dusun Baroh yang tidak memenuhi kriteria.
Dugaan penyalahgunaan dana jerih aparatur desa dari ADG untuk kepentingan pribadi Geuchik.
Dugaan manipulasi dokumentasi pencairan BLT 2024, di mana warga diminta berfoto memegang uang bantuan yang kemudian ditarik kembali oleh Geuchik untuk kepentingan laporan palsu.
Sejumlah warga belum menerima BLT 2024 secara utuh bahkan ada yang tidak menerima sama sekali, meskipun nama dan tanda tangan mereka tercantum dalam daftar penerima.
Rekomendasi dari Inspektorat Kabupaten Aceh Utara yang belum dijalankan oleh Geuchik, sebagaimana dikemukakan oleh Inspektur Pembantu dalam forum rapat tanggal 24 Juli 2025.
Permintaan Tindakan Hukum dan Audit Menyeluruh
Melalui laporan ini, Tuha Peut menyampaikan permohonan agar Kejaksaan Negeri Aceh Utara:
Melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan Dana Desa Blang Majron TA 2025.
Memanggil dan memeriksa Geuchik serta Camat Syamtalira Bayu terkait pelanggaran kesepakatan dan dugaan kolusi.
Mengambil tindakan hukum tegas apabila ditemukan indikasi tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan kewenangan.
Tembusan laporan tersebut dikirimkan pula kepada BPKP Perwakilan Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh, Bupati Aceh Utara, DPRK Aceh Utara, Inspektorat, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG).
“Kami menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Tuha Peut hanya menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanahkan oleh peraturan. Jika ada pelanggaran hukum, maka negara harus hadir,” tegas Imam Sayuti.
Menanti Respons Tegas Aparat Penegak Hukum
Laporan ini menjadi bagian dari upaya masyarakat Blang Majron untuk menghentikan praktik penyimpangan yang diduga telah berlangsung bertahun-tahun dan tak kunjung ditindak secara serius. Masyarakat berharap adanya audit menyeluruh, pembekuan rekening desa, serta evaluasi atas jabatan Geuchik dan pengawasan Camat.
Publik kini menanti langkah konkret dari Kejaksaan dan lembaga terkait. Apakah akan ada tindakan tegas, atau justru pembiaran yang berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap program Dana Desa. (SR)
Komentar