Legitimasi Penindasan, Konferensi Pers PT. BAPCO Bungkus Konflik dengan Bahasa Halus

Peristiwa15 Dilihat

Aceh Utara, – Klarifikasi panjang PT Bahruny Plantation Company (PT Bapco) soal sengketa lahan di Blok D17, Gampong Alue Lhok, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, dinilai warga sebagai upaya membalikkan fakta publik. Alih-alih meredam konflik, pernyataan perusahaan sawit itu justru di nilai untuk mengaburkan kebenaran dan pembungkaman terhadap amarah masyarakat yang sejak puluhan tahun lalu membuka dan menggarap tanah yang kini diklaim sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) PT Bapco.

 

Dalam konferensi persnya jum,at 4 Juli, PT Bapco bersikeras menyebut lahan seluas 1.019,9 hektare di bawah HGU Nomor 29-HGU-BPN RI-2009 tidak pernah dalam kondisi terlantar. Perusahaan menyatakan selama masa konflik 1997–2006, lahan sempat vakum karena situasi tidak kondusif. Namun warga menilai pengakuan tersebut justru membuktikan bahwa perusahaan lalai mengelola tanah yang diberikan negara.

 

“Kalau memang ini HGU mereka, kenapa dibiarkan jadi hutan belantara selama bertahun-tahun? Rakyat yang membersihkan, menanam pinang, durian, pisang, lalu tiba-tiba kami disebut oknum penggarap ilegal. Ini penghinaan terhadap rakyat kecil yang hidupnya bergantung pada tanah itu,” kata Sofian, perwakilan warga Alue Lhok, Jumat (4/7/2025).

 

PT Bapco dalam pernyataannya menyebut masyarakat memanfaatkan kondisi vakum untuk menguasai lahan secara ilegal. Mereka juga menuding ada intimidasi terhadap perusahaan ketika mencoba mengelola kembali Blok D17 seluas 59,5 hektare. Namun warga menepis tudingan itu dan balik bertanya tentang komitmen perusahaan dalam menjaga hak rakyat.

 

“Kalau mereka mengaku sudah upaya persuasif sejak 2006, mana buktinya? Kami hanya sekali dipanggil ke kantor kecamatan, setelah itu tak pernah ada tindak lanjut. Bahkan mereka tidak pernah menunjukkan dokumen HGU, Sekarang mereka datang membawa somasi dan ancaman hukum. Ini bukan persuasif, ini pemaksaan dan penindasan,” ujar salah seorang warga yang disomasi, dilansir dari Jmnpost.com.

 

Perusahaan juga mengingatkan media dan masyarakat agar tidak menyebarkan opini negatif yang merugikan PT Bapco. Mereka menyebut keberlangsungan perusahaan menyangkut nasib 300 karyawan, 95 persen di antaranya warga lokal. Namun warga menilai argumen itu tidak relevan dengan hak mereka sebagai rakyat atas tanah yang digarap puluhan tahun.

 

“Kami juga rakyat lokal. Kami hidup di sini sebelum perusahaan ini datang. Jangan pakai nasib karyawan sebagai tameng untuk menindas kami,” ujar Abdul Manaf.

 

PT Bapco membantah tudingan bahwa lahan mereka terlantar. Mereka menyebut keberadaan sisa tanaman sawit lama sebagai bukti bahwa Blok D17 pernah dikelola. Namun warga menilai itu justru menunjukkan minimnya pengelolaan nyata perusahaan selama puluhan tahun.

 

Warga mendesak pemerintah, khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN), turun tangan memeriksa ulang legalitas HGU PT Bapco. Mereka juga meminta dilakukan pengukuran ulang lahan, termasuk memeriksa apakah ada pelanggaran Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur ketentuan pencabutan HGU jika lahan tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan.

 

“Kalau negara membiarkan rakyat kecil kalah melawan korporasi besar, untuk apa kita bicara tentang keadilan? Jangan sampai rakyat kehilangan tanah yang sudah mereka perjuangkan, hanya karena perusahaan bersembunyi di balik selembar kertas HGU,” tambah Sofian.

 

Hingga kini, konflik antara warga tiga gampong dan PT Bapco terus memanas. Warga menegaskan mereka siap mempertahankan tanah yang sudah mereka garap dengan keringat sendiri, sekalipun harus berhadapan dengan langkah hukum perusahaan.(SR)

Komentar