Kuansing, Riau – Kabar mengejutkan datang dari Desa Pulau Bayur, Kecamatan Cerenti, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Selasa, 8 Oktober 2025, menjadi hari kelam bagi dunia pers setelah Ayub Kelana, seorang jurnalis, menjadi korban penganiayaan brutal saat menjalankan tugas sucinya meliput penertiban Penambang Emas Tanpa Izin (PETI).
Ayub, yang saat itu berada di lokasi bersama rombongan Kapolres Kuansing dan Bupati untuk meliput razia PETI di Sungai Batang Kuantan, tak menyangka tugasnya berujung bencana. Ia diserang oleh oknum yang diduga kuat adalah pelaku PETI.
Darah Ayub tumpah. Ia mengalami luka serius di bagian wajah. Namun, yang lebih menyayat hati, satu-satunya alat Ayub untuk mencari nafkah, sepeda motornya, dirusak dan dibakar menjadi abu. Tragedi ini bukan sekadar penganiayaan fisik, tapi juga upaya membungkam suara kebenaran dan memiskinkan seorang pencari berita.
Saat ditemui awak media, Ayub Kelana mengungkapkan kesaksian yang menusuk:
“Saya mengenal orang yang memukul saya dan ia yang memprovokasi massa untuk memukul saya,” ungkapnya dengan suara bergetar, wajahnya tampak lesu, dan darah masih menetes dari luka-luka di wajahnya.
Pasca-peristiwa tragis tersebut, kondisi psikologis Ayub Kelana sangat memprihatinkan. Ia dikabarkan mengalami trauma berat, hingga tidak bisa tidur nyenyak dan kehilangan selera makan. Ini adalah harga mahal yang harus dibayar seorang jurnalis demi menyajikan fakta kepada publik.
Peristiwa ini menjadi alarm keras bagi aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Bagaimana mungkin jurnalis yang bekerja bersama pihak berwajib justru menjadi sasaran kekerasan dan perusakan? Kasus ini harus diusut tuntas, dan para pelaku — terutama yang memprovokasi — harus diseret ke pengadilan. Keamanan pers harus terjamin, atau kebenaran akan selamanya terkubur di bawah ancaman.(B.A)
Komentar